Rabu, 06 April 2011

PEKA


          Jam menunjukan pukul 7.30 a.m. Seorang gadis kecil duduk di ranjang pasien Rumah Sakit Internasional Sanghai-China. Gadis berusia sepuluh tahun itu baru saja mengalami kecelakaan. Mobil yang ia tumangi bersama ayahnya terseret kereta sejauh 3 kilo meter lebih. Sungguh keajaiban nyawanya kini masih bisa diselamatkan, sedangkan ayahnya telah damai disis-Nya. 
            Perlahan-lahan ia buka kedua matanya yang lancip. Mulanya ia merasakan udara pagi yang hangat melalui angin yang berhembus menyentuh halus kulitnya, namun ketika ia membuka kedua matanya, gelap gulita seperti langit malam tanpa bintang. Tak setitik cahayapun tak terbersit di matanya.
            Jantungnya berdebar kencang, parasnya memucat putih pasi. Dokter mengatakan gadis kecil yang bernama Hyena Steller itu, tidak dapat melihat lagi. BUTA. Tragis memang, setelah kehilangan sang Ayah dan kini  ia harus kehilangan kornea matanya.  Beribu belas kasihan telah berjatuhan, namun ia tetap berdiri tegar menghadapinya.
            Phola Stiller yang berdarah China-Inggris, sedang  mengemas semua barang yang ada di Lemari pasien kamar Geranium 1A, RS Internasional Sanghai-China. Ibu kandung dari Hyena Stiller itu bahkan telah lengkap bersama dua koper lainnya. Mulai hari itu hak asuh Hyena jatuh pada ibu kandungnya.
            Dua tahun lalu Ayah-Ibu Hyena bercerai dan hak asuh Hyena jatuh pada tangan ayahnya. Kini setelah Ayahnya meninggal, maka secara hukum Hyena Stiller akan di kembalikan pada ibu kandungnya. Setelah bercerai Phola tinggal di Ningbo-China. Karena tidak punya keahlian, wanita cantik itu hanya berjualan ikan saja di pasar.
            Sampailah Hyena di sebuah perkampungan di China. Rumah-rumah kumuh berhimpitan, tak seperti di pusat kota Sanghai yang penuh sesak dengan bangunan mewah kelas atas. Jalanan rusak membuat kubangan-kubangan kecil di tengah jalan. Udara bau busuk, bau amis dan bau sampah-sampah pasar menyengat masuk ke hidung, ya disanalah Phola tinggal di perkampungan para nelayan miskin di Ningbo-China.
            Karena harus berjualan di pasar dan tak mungkin Phola meninggalakan Hyena di rumah sendirian, maka Phola memutar otaknya agar Hyena dapat di titipkan di tempat yang aman. Ia mendatangi salah satu sekolah dasar untuk mendaftarkan putrinya itu. Hyena duduk di sebuah bangku sambil memegang erat tongkatnya.
            “Tolonglah Pak, biarkan sementara waktu anaku bersekolah disini. Aku tak punya cukup biaya untuk menyekolahkannya di sekolah luar biasa. Aku mohon, aku ini hanya penjual ikan biasa,” bujuk Phola pada kepala sekolah.
            “Bagai mana bisa anak buta sekolah di sini?” kata kepala sekolah menolak dengan halus.
            Setelah berkali-kali Phola memohon dan membujuk akhirnya kepala sekolah luluh dalam tangisan Phola. Kepala sekolah mengizinkan putrinya masuk di sekolah itu untuk sementara waktu hingga Phola bisa menyekolahkan Hyena di SLB.
            Hyena masuk di kelas 4-B. Setiap kelas di SD tersebut berjumlah empat puluh hingga empat puluh lima orang siswa, satu meja di tempati oleh dua orang, terkecuali meja Hyena. Hyena duduk sendiri di depan meja guru. Tak seorang pun mau menemaninya karena ia buta.
            Hari ke hari mulai berganti namun tak setupun anak mendekati Hyena. Beberapa anak laki-laki di kelasnya sering mengejek dan mengolok-olok dengan sebutan si Buta Jelita. Ia merasa sedih, malu dan marah,  namun seolah kehilangan ekspresinya, ia selalu terdiam dingin.
            Suatu hari Phola tidak menjemput anak semata wayangnya itu, ia asik berbincang dengan salah satu pelanggannya di dapur restaurant Janet and Ron. Sementara Hyena berdiri di pintu gerbang menunggu kedatangan Ibunya. Gadis pintar itu berniat pulang sendiri ke rumah tanpa menunggu lama sang Ibu. Hatinya meyakinkan bahwa ia ingat jalan pulang, maka dengan tongkatnya ia berjalan ke luar dari gerbang sekolah kumuh itu. 
            Baru beberapa langkah Ia berjalan keluar dari sekolahnya…
            BRUG…
            Ambruklah badan mungil Hyena di dorong oleh seorang anak lelaki berbadan bulat dari arah belakang. Hyena terpisah dari tongkatnya. Ia mulai meraba-raba di mana tongkatnya terjatuh. Namun tak ia temukan juga.
            “Kamu mencari apa?” ledek anak lelaki itu, “Ini?” katanya sambil meraih tongkat Hyena dengan tangan kirinya.
            PRAK…
            Tongkat Hyena terbagi dua.
            “Tongkat ku,” teriak Hyena sambil berdiri.
            “Hahahahaaaaa…” anak-anak itu tertawa puas.
            Kemudian dari belakang gerbang seorang anak lelaki bertubuh tinggi tegap menatap keji pada rombongan anak lelaki yang mengganggu Hyena, dengan gagahnya anak lelaki itu maju kea rah mereka.
            “Shou…?” teriah salah seorang anak lelaki yang mengganggu Hyena.
            “Kalian ini, bisanya hanya mengganggu anak perempuan!” kata Shou geram.
            BUG… BUG… BUG…
            Ketiga anak lelaki itu dihajarnya hinga terkapar.
            “Kamu ga apa-apa?” Tanya Shou pada Hyena, “Coba aku lihat? Wah… lututmu berdarah, sini aku gendong! Aku antrakan ke rumahmu ya!” katanya sambil bergegas menggendong Hyena.
            “Kalian jangan coba macam-macam laporkan aku ke guru karena menghajar kalian, atau aku laporkan kalian ke kepala sekolah kalianlah yang telah mencelakakan Hyena dan tongkatnya,” ultimatum Shou pada mereka.
            Hyena mengintruksikan jalan pulang menuju rumahnya pada Shou. Mereka sampai di sebuah rumah tua sederhana. Pagarnya berwarena coklat. Di bagian garasi terlihat kayu-kayu tua yang menyangga atapnya tak lagi kokoh, mungkin kayu-kayu itu sudah lapuk di makan rayap. Dindingnya sebagian besar terkelupas, sudah lama pula nampaknya dinding rumah mereka tak di cat. Tangga-tangga kayu, ikut berdecit ketika ada orang yang melangkahkan kaki di atasnya. Sebuah rumah tua yang tak layak huni untuk kedua wanita cantik blasteran China-Inggris itu.
            Hari-Hari berlalu dengan cepat. Bel sekolah berbunyi, dengan riang para siswa-siswi meninggalkan kelas, terkecuali Hyena. Raut mukanya tak banyak berubah semenjak beribu warena menghilang dari dunianya. Selalu dingin dan datar yang tercermin dari wajahnya.
            TRAP… TRAP… TRAP…
            Hyena dan tongkat barunya berjalan keluar dari kelas. Ia melangkah menyusuri bangunan sekolah dengan hati-hati. Baru saja beberapa langkah keluar dari kelasnya, ia merasa ada yang mengikutinya.
            Hal itu bukan kali ini saja ia rasakan. Pendengaran dan instingnya yang peka semenjak buta begitu tajam. Ketika ia melangkah ada sepasang kaki yang mengikutinyadan setiap kali ia berhenti kaki-kaki itu juga ikut berhenti melangkah. Dia mencium aroma tubuh yang hangat dan lembut. Awalnya ia piker itu hantu, tapi batinnya mengatakan mana mungkin ada hantu di siang bolong, lagi pula Hyena tak begitu percaya tahayul.
            Sudah seminggu ia hiraukan derapan kaki-kaki kecil itu, kini ia benar-benar penasaran siapakah orang yang sudah mengikutinya setiap pulang sekolah itu. Ia beranikan diri untuk menghentikan langkahnya.
            “Siapa di sana?” Tanya Hyena pada pemilik langkah kaki itu.
            Tak ada jawaban di sana. Si pemilik langkah kaki itu bersembunyi di balik pilar bangunan kokoh itu. Maka Hyena kembali melangkah dan langkah kaki itu mengikutinyakembali. Hyena merasa taku sekarang, jantungnya berdebar-debar ingin mengetahi siapa pemilik langkah kaki itu.
            “Siapa di sana?” katanya lagi, “Katakan siapa? Mengapa kamu terus mengikuti aku?”
            Kemudian si pemilik langkah kaki itu perlahan-lahan di rasa Hyena mendekatinya. Jantungnya semakin berdebar kencang, ia menggenggam erat tongkatnya untuk mengambil ancang-ancang memukul jikalau si pemilik langkah kaki itu bermaksud jahat.
            Hyena berbalik ke belakang menghadap ke langkah kaki itu mendekat.
            BUG…
            Dipukulnya si pemilik langkah kaki itu.
            “Aww….!” Teriakan suara anak lelaki menggema di udara, “Ini aku Shou. Aku anak kelas 4-C yang tempo hari menolongmu.”
            Fuih…
            Hyena merasa Lega, “kamu? Untuk apa mengikutiku?”
            “Aku… aku hanya ingin pulang berasama. Aku takut terjadi apa-apa sama kamu, makannya aku mengikutimua. Oh ya kebetulan juga rumah kita berdekatan, jadi aku tidak mengikutimu sepenuhnya. Kamu mau kan pulang besamaku?”
            Hyena teridam sejenak, kemudian ia menyunggingkan bibir merahnya, “Hm… mari,” katanya sambil menganggukan kepala.
            Shou merasa senang, untuk pertama kalinya ia melihat senyuman indah dari bibir merah Hyena.
            Di perjalanan Sjou dan Hyena awalnya hanya tersiam saja namun Shou berusaha mencairkan keadaan, “ oh ya, kamu tahu tidak mengapa anak-anak di sekolah takut padaku?” tanyanya.
            “Mengapa?”
            “Kamu tahu boxing? Aku ini atlit boxing. Suatu hari nanti aku akan menjadi petinju dunia,” kata Shou sambil mengepalakan kedua tangannya dan melayangkan ke udara, berlaga bak seorang petinju dunia, “Kamu sendiri? Kamu suka apa?”  tanyanya pada Hyena.
            “Aku suka ice chating. Dulu mendiang ayahku sering mengajaku bermain ice chating.”
            “Ice chating? Hampir sama dengan sepatu roda kan?”
            “Iya, hanya saja di ataas es.”
            “Aku punya sepatu roda di rumah. Bagai mana kalau nanti sore kita bermain sepatu roda di lapangan?”
            “Hmm… baiklah. Tapi aku tak punya sepatu roda.”
            “Kamu bisa pakai punya adiku.Mungkin ukurannya sama? Dia juga perempuan ko.”
            Mereka terus mengobrol hingga tak terasa mereka telah sampai di depan rumah Hyena.
            “Oh ya rumahku tepat di depan rumahmu, hanya saja terhalang oleh jalan kecil dan lapangan saja. Jangan sungkan main ke rumahku ya…”
            Ketika sore tibaHyena sudah berada di ters depan rumah menunggu kedatangan Shou. Rambutnya yang biasa di ikat kini di gerai indah berjatuhan. Ia kenakan celana jeans pendek dan kaos abu-abu. Shou begitu terpesona, dalam hatinya menggebu-gebu ada perasaan aneh yang membuat wajahnya memerah. Jatuh hati Shou melihatnya, saying Shou tak pandai memuji wanita.
            Baru sore itu Hyena bermain dengan riang kembali setelah beberapa kali duka menyandanginya. Hyena genggam erat lengan Shou, perlahan-lahan Shou mengajarkannya berdiri menggunakan sepatu roda. Kemudaian beberapa kali memutari lapangan, hingga akhirnya Hyena bisa dengan sempurna menggunakan sepatu roda.
            Tak hanya bermain, belajar dan mengerjakan PR berama mereka sering lakukan beberapa pecan terakhir ini. Hyena yang fasih berbahasa Inggris, sering sekali mengajarinya bahasa Inggris.
             “You and I say good bye for the angels cry, ok?” ledek Shou pada Hyena yang terkadang menggunakan bahasa inggris fasih untuk berbicara.
            Setelah puas dengan mengajarkan Hyena bermain sepatu roda, Shou mengajarkan Hyena berjalan menuju rumahnya tanpa menggunakan tongkat. Hyena selalu mendengarkan dengan baik intruksi yang diberikan Shou.
            Hyena mengulurkan kedua tangan halusnya dan dengan senang hati Shou menyambutnya. Shou merasakan gelap yang Hyena rasakan, ada misteri di balik gelapnya dunia dalam setiap lanhkah yang mereka jalani. Yang mungkin akan menjatuhkan mereka, yang mungkin membawa mereka pergi. Namun yang terasa hanyalah satu sentuhan kelembutan dan kehangatan dari tangan mereka. Shou berjalan mundur dan Hyena menggenggam tangannya dengan erat, perlahan tapi pasti mereka tiba di depan rumah Shou.
            29 April, di hari itulaha Shou menjanjikan akan mengajak Hyena bermain ice chating di pusat kota Ningbo. Siang itu Shou menghampiri Hyena yang telah menunggu di teras rumahnya. Mereka pergi dengan menggunakan sepedah tua milik ayah Shou. Sangat menyenangkan bagi Hyena dapat bermain ice chating lagi. Kali ini Hyena yang mengajarkan Shou bermain di atas es.
            Sungguh tak menyangka permainan Hyena sangat luar biasa. Ia tak terlihat seperti gadis buta, ia Nampak hafal dengan setiap sudut tempat itu. Berputar dan meloncat dengan indah ia lakukan beberapa kali. Orang-orang memberinya tepuk tangan.
            Hal-hal itu membuat mereka semakin dekat, semakin membutuhkan satu sama lain dan saling menyayangi. Ternyata kedekatan antara hati-ke hati tidak hanya mereka berdua yang rasakan. Phola juga sedang berbunga-bunga merasakan kisah asmaranya bersama seorang bule asal America. Ron Morga pemilik restaurant Janet and Ron telah lama mengawaki kedekatan mereka enam bulan lalu.
            Kedekataan Phola dan Ron berlanjut di pelaminan. Tanggal 3 Juni telah dipilih dan tercatat di sebuah gereja sebagai hari pernikanan Phola dan Ron. Kabar bahagia itu harus di telan pahit oleh Shou, karena dengan begitu mereka akan terpisah jauh. Ron akan membawa keluarga Hyena ke America. Selain itu Hyena akan di oprasi di negri Paman Sam itu.
            Teng… teng… teng…
            Lonceng altar berbunyi. Bunga-bunga mawar putih bertaburan, tamu-tamu berdatangan, hiruk pikuk keramaian pesta tak membuat Hyena tersenyum sedikitpun.
            “Kenapa kamu terlihat sedih?” Tanya Shou mendekati Hyena yang tak beranjak sedikitpun dari bangkunya untuk menikmati pesta pernikahan ibunya.
            “Aku tidak sedih,” bantah Hyena.
            “Jujur saja, aku senang ibumu dan kamu akan punya papa baru. Apalagi ketika tuan Ron berjanji akan mengoprasi matamu, tapi aku sedih kau harus pergi ke America,” kata Shou sambil duduk di sampingnya.
            Mereka terdiam sejenak kehabisan kata-kata.Hyena melepaskan ikat miliknya, hingga rambutnya yang panjang terurai lepas. Ia menggenggamkan itu pada tangan Shou, “Ini, ingatlah aku.”
            “Tidak mau!” kata Shou.
            Tiba-tiba saja Shou mencium pipi kanan Hyena, “Aku berjanji aku akan berlatih boxing dengan keras, agar aku bisa bertanding di America. Percayalah kita pasti bisa bertemu lagi!”
            Ahirnya tiga hari kemudian Shou dan ayahnya mengantarkan Hyena dan keluarga barunya ke bandara Internasional Shanghai. Mereka berpisah satu jam sebelum penerbangan dilakukan. Raut muka sedih tampak dari kedua wajah mereka.
            Ketika Shou dan ayahnya pulang menggunakan taxi, tak henti-hentinya Shou menatap langit biru. Di sana ia melihat pesawat yang terbang keluar dari bandara. Mungkin itu pesawat Hyena yang akan terbang ke America.
            15 tahun kemudian…
            Bug… bug… bug…
            Seorang pria asik meninju sarung tinju di hadapanya. Pria yang hanya mengenakan singlet berwarena hitam tipis dan celana panjang parasit itu membuka sarung tinjunya kemudian Ia menyeruput secangkir kopi yang sudah dingin karena di tinggalnya bermain boxing. Dari apartement rumahnya terlihat langit berwarena kuning kemerahan.
            Shou Chou, pria berusia dua puluh lima tahun itu kini tinggal di apartemen kecil di pusat kota Sangkai-China. Dia gagal meraih mimpinya menjadi petinju dunia. Karena keterbatasan biaya Shou hanya tamat SMA dan tidak melanjutkannya ke universitas. Namun berkat kerja kerasnya di boxing, di usianya yang muda ia berhasil mengepalai salah satu agen bodyguard di Sanghai. Ia bekerja pada salah seorang wanita paruh baya bernama Madam Felicia.
            Madam Felicia adalah seorang wanita kaya, konon kataya ia memasuki prikat sepuluh wanita terkaya di Asia. Oleh karena itu tak sembarang orang yang bisa menjadi bodyguardnya, hanya orang-orang terlatih dan pintar yang menjaganya sepanjang hari.
            Sementara itu Hyena menjadi seorang atlit ice chating di America. Medali-medali emas, piala-piala ice chating, piagam-piagam telah memenuhi dining kamarnya. Wanita cantik itu tidak hanya mampu memikat para juri di atas es, namun mampu mengikat hati para lelaki Los Angels-America.
            Akhir pekan itu Hyena terbang ke Sanghai-China untuk untuk memperingati 15 tahun meninggalnya Ayah Hyena. Hyena menginap di salah satu kamar hotel Hilton di pusat kota Sanghai. Ia melihat langit sudah kuning kemerahan, itu artinya matahari sudah tiba di penghujung barat sana. Tanpa piker panjang ia segera menaruh kopernya di kamar dan pergi lagi ke apartemen Tropicana untuk mendoakan mendiang ayahnya.
            Kring… Kring…
            Telephone milik Shou bordering.
            “Hallo,” kata Shou sambil mengangkat telephonya.
            “Shou, datanglah ke kantorku, segera!” perintah suara seorang wanita paruh baya pada dirinya.
            “Baik, madam,” jawabnya langsung menutup telephonnya.
            Shou bergegas mengenakan kemeja putih, kemudain memasangkan jas warena hitam dan celananya, tak lupa ia pakai sepatu hitam yang mengkilat sebagai alas kakinya. Sebuah mobil Honda CR-Z merah dua pintu ia lajukan dengan pesat di jalan.
            Ckiiiiitttt…
            Mobil berbelok dan langsung terparkir rapih di antara barisan mobil-mobil lainnya. Ia membuka kaca mata hitamnya sambil berjalan menuju lift. Ia sampai di sebuah ruangan bertuliskan : Direktur Utama, Felicia Tan.
            “Aku ingin kamu mengantarkan dokumen penting ke apartement Tropicana. Apartemen nomor 274 milik Endric Tan. Ini dokumennya, jaga baik-baik dokumen ini,” perintah madam Felicia padanya.
            “Baik,” kata Shou sambil mengambil dokumennya.
            Ia segera menuju ke Tropicana Apartement and Reasor.
            Hyena berjalan menuju baseman sambil membawa sekotak barang-barang peninggalan ayahnya. Baru saja ia sampai di baseman apartemen ia melihat sekawanan pria mabuk berbadan besar menghampirinya. Mereka menghalangi jalan Hyena. Pria-pria hidung belang itu menarik tubuhnya dan menghepaskan kotak yang ia bawa.
            “Hey… kalian!! Bisanya hanya mengganggu wanita saja,” kata seorang pria sambil menghampiri mereka.
            “Siapa kamu?” Tanya seorang pria jahat itu, “Kamu pacarnya? Atau bodyguardnya?”
            “Mau tahu siapa aku? Hadapi dulu aku!” kata shou sambil langsung menghajar salah satu diantara mereka.
            Bug… bug… bug…
            Dengan mudah, Pria itu menghajar satu-satu pria-pria mabuk itu hingga terkapar. Selesai menghajar para lelaki hidung belang itu, ia menghampiri Hyena yang sedang ketakutan di balik pilar beton baseman tersebut.
            “Kamu ga apa-apa?” Tanya Pria itu pada Hyena, “Coba aku lihat? Tanganmu terluka! Mari aku antar ke apartement!” katanya sambil bergegas menggendongnya.
            “Aku… aku tidak tinggal di sini, aku tinggal di Hotel Hilton,” kata Hyena.
            “Baiklah akan aku antarkan. Tidak baik seorang wanita cantik malam-malam begini berkeliaran di luar.”
            Hyena  menganggukan kepalanya pertanda setuju.
            Ketika pria itu menggendongnya, ia mencium aroma tubuh yang lembut. Di balik punggung yang hangat itu Hyena merasakan pria itu taka sing lagi banginya. Ketika ia memejamkan matanya sejenak. Semakin terasa kehangatan itu menjalar pada tubuhnya. Shou. Ia yakin pria itu Shou, teman semasa kecilnya dulu.
            Hyena terdiam shok. Di dalam mobil mereka terdiam. Mata Hyena memandang kosong pada jalan yang ia lalui, hal itu membuat pria di sampingnya merasa takut ada apa-apa terjadi padanya.
            “Seiapa namamu?” Tanya pria ganteng itu.
            Hyena masih terdiam memandang kosong.
            “Hey… kamu tidak apa-apa?” tanyanya lagi sambil membangunkan Hyena dari lamunannya.
            “Shou…” katanya pelan.
            Tiba-tiba pria itu mengerem mobilnya di tengah jalan. Jantung mereka berdebar kencang. Pria itu menatap wajah Hyena yang meneteskan air mata. Mereka terdiam sejenak. Sementara itu di luar mobil-mobil mengelaksoni mereka.
            “Hyena?” Tanya pria itu.
            “Iya, ini aku.”
            PRANG…
            Tiba-tiba saja kaca mobil Shou di pecahkan menggunakan tongkat baseball oleh segerombil pria-pria yang turun dari motor besar. Shou langsung memeluk Hyena ahar terhindar dari pecahan kaca mobilnya. Namun ketika orang-orang berpakaian putih dan berompi hitam itu memecahkan kaca dari arah Hyena pecahan kaca itu mengenai mata Shou. Shou di seret keluar dari dalam mobil, ia di hajar habis-habisan oleh mereka. Hyena juga di seret kuar dari mobilnya, ia di dorong ke aspal. Dua kali suara peluru keluar dari pistol salah satu penjahat itu.  Mereka mengambil amplop cokelat milik madam Felicia di dalam mobil.
            “Hey, ini bukan wanita yang kita cari!” kata seorang pria jahat itu.
            “Benar, wanita yang harusnya kita bunuh itu sudah tua. Ayo kita segera pergi!” kata pria lainnya.
            Darah bercucuran di jalan, kaca-kaca berserakan dan mereka terkapar di aspal yang dingin. Salah seorang pengguna jalan yang melintas segera menghubungi ambulac dan polisi untuk segera datang ke TKP.
            Shou dan Hyena terluka parah, mereka segera dilarikan ke UGD untuk mendapatkan pertolongan. Setelah dokter mengoprasi, Shou di pindahkan ke ICU. Sementara Hyena di pindahkan ke ruang lain.
            Keesokan harinya, Hyena terbangun dari tidurnya. Ia duduk di ranjang pasien RS Internasional Sanghai-China. Perlahan-lahan ia buka kedua matanya yang lancip. Yang terlihat adalah sebuah lemari pasien, jendela dan washtafel. Sementara di luar langit sudah gelap.Ia segera bangun dan beranjak dari tempat tidunya. Ia masuk ke ruang ICU tempat Shou di rawat.
            Ia melihat pria yang ia cintai itu terkapar lemas tak berdaya di ranjang pasien. Alat-alat di pasang untuk memepertahankan hidupnya. Darah masuk lewat infusan ke tangannya. Matanya di tutup oleh kapas dan kain kasa.
            Setiap malamnya Hyena menemani Shou di sana, mengelus halus tangannya. Mencium keningnya dan selalu bercerita tentang masa yang mereka jalani dulu. Hingga seminggu sudah semua berlalu.
            “I love You,” bisik Hyena di telinga Shou.
            Tiba-tiba jari-jari Shou bergerak ringan.
            “Sustet… suster…” teriak Hyena.
            Suster masuk untuk mengechek pasiennya itu. Ia melihat denyut jantung Shou mulai menguat. Ia langsung berlari ke luar ruangan untuk memanggil dokter.
            Entah energy apa yang merasuki diri Shou. Ia langsung beranjak dari tempat tidurnya, mencabut infusannya, ia buka perban di matanya dan langsung menyadari matanya buta. Ia berteriak teriak ketakutan, melemparkan barang-barang di sampingnya, dan akhirnya ia duduk di salah satu sudut rumah sakit tersebut.
            “Shou tenanglah, ini aku Hyena. Aku ada si sampingmu,” bisik Hyena pada Shou.
            Namun Shou tak melihat dan mendengarkan Hyena . Ia Nampak menggigil ketakutan sambil memeluk kedua lututnya. Yang ia rasakan hanyalah angin dingin berhembus di kulitnya. Ketika Hyena melihat Shou yang kuat itu shok dan ketakutan, ia seakan merasakan pula apa yang Shou rasakan. Gelap, dingin dan kaget. Hyena baru menyadari Shou telah buta. Hyena perlahan-lahan menjauhi tubuh Shou, ia melihat dokter masuk ke dalam, ia mencoba menjelaskan keadaan Shou, namun mereka seakan tak melihat atau mendengar Hyena bicara. Suster yang berjalan menghampiri Shou bahkan dapat menembus badannya.
            Ia baru tersadar, kini ia telah terpisah jauh dengan Shou. Bukan lagi jarak yang memisahkan mereka tapi alam yang telah memisahkannya dengan Shou. Semua rasa tercampur baur dalam dirinya.
            Pagi harinya, Shou muai tenang meski ia tak dapat tertidur lagi dan harus di temani susuter sepanjang malam. Madam Felicia masuk ke dalam ruangan. Madam duduk di ranjang pasien           sambil melepaskan kacamatanya.
            “Dengarkan aku Shou,” kata madam sambil meletakan tangan kanan madam di pundak Shou, “orang-orang yang menyerangmu malam itu adalah suruhan salah satu musuh bisnisku. Aku sudah perintahkan untuk menyampaikan dokumen itu langsung ke tangan Endric Tan, tapi kamu tak mendengarkan perintahku dan inilah akibatnya. Namu meski begitu, ini semua tanggung jawabku, aku akan membayar semua biaya rumah sakit dan biaya pemakaman wanita itu. Kamu akan di berhentikan, fasilitas apartement yang aku berikan akan habis masa kontraknya, jadi kamu tidak bisa menempatinya lagi tapi kamu masih dapat uang pesangon sebagai tanda turut berduka cita dariku. Soal mobilmu, karena itu masih baru pihak asuransi telah menggantinya. Akan aku suruh supirku mengantarkanmu ke Ningbo setelah kamu sembuh nanti. Baiklah, aku tidak punya banyak waktu. Aku harus berangkat ke America sore ini. Jaga dirimu baik-baik.”
            Shou tak berkata apa-apa ia hanya terdiam.
            Berhari-hari Shou terus mencoba tegar, ia makan makanan yang di berikan rumah sakit, ia minum obat yang dokter berikan, hingga kesehatannya benar-benar pulih. Ia tak sabar lagi untuk kembali ke Ningbo berkumpul bersama keluarganya, memeluk erat satu-persatu orang yang ia sayangi. Terakhir kalinya ia bertemu mereka ketika 3 tahun lalu ia mendatangi ibunya untuk memberi kabar bahwa ia diangkat menjadi kepala bodyguard oleh Madam Felicia.
            Ia masih ingat jelas wajah ibunya ketika ia datang memeluk tubuh ibunya yang kurus kering, ia masih bisa membayangkan wajah ibunya yang sudah mulai keriput, namun masih cantik dan sehat. Adiknya yang kini akan menikah dengan seorang pria angkatan laut. Kulit Ayahnya yang kecoklatan dan keriputan. Bahkan wajah Hyena di masa kecil ketika bermain sepatu roda. Yang tak akan ia lihat lagi di sisa hidupnya kini.
            Ningbo masa kini telah berubah lebih baik. Hanya saja perkampungan miskin itu masih ada sebagai kampungnya para nelayan China miskin. Rumah-rumah kumuh berhimpitan, hanya jalan yang telah di perbaiki di sana. Ketika udara bau busuk, bau amis dan sampah-sampah pasar menyengat masuk ke hidung masih ada, itu artinya ia telah sampai di sana, perkampungan Ningbo-China. Ia turun dari mobilnya.
            Ia turun dari mobil tak lagi menggunakan tongkat. Ia berjalan menyambangi pintu rumahnya dengan lihay. Ia hafal betul setiap sudut di rumahnya, ia pernah ajarkan pada Hyena untuk menghapalkan setiap sudut di rumahnya agar ia tak usah menggunakan tongkatnya ketika berada dalam rumah. Ibu dan Ayahnya yang telah menunggunya sejak tadi malam terlontar gaket melihatnya tanpa tongkat layaknya orang-orang buta lainya. Tak hanya mereka seisi rumah, supir yang mengantarak Shou pun kaget setengah mati melihatnya seperti itu.
            “Kamu bisa melihat nak?” Tanya sang ibu padanya.
            Shou tersenyum, “Ibu?” katanya sambil memeluk wanita itu.
“Bagai mana Hyena? Benarkah dia telah..” kata ibunya terpurus.
“Dia ada bu, dia baik-baik saja,” katanya, “Hyena selalu menemani disampingku,disini, dihatiku,” lanutnya dalam hati.
            “Astaga Shou, kamu bisa melihat lagi?” satu lagi kekagetan kini muncul dari ayahnya .
            “Ayah?” Shou mendekati sumber suara dan memeluknya.
            Ketika Shou memeluk seorang pria bertubuh tinggi kekar di belakang sang ibu semua orang tau dan menyadari Shou masih buta. Yang ia peluk bukanlah ayahnya, tapi calon suami adiknya. Semua orang begitu terenyuh ketika ia memeluk satu-persatu keluarganya. Ibunya tak kuasa menangis dan tak hanya dia semua orang di ruangan itu menangis dalam hatinya melihat penderitaan yang dialami oleh Shou.
            Kehangatan itu terus menyelimuti dinginnya nasib yang dialami Shou. Keluarganya tak pernah berhenti menyemangatinya, meski Shou telah terkadang terlihat putus asa. Ia membeli rumah yang dulu di tempati Hyena dari pesangon yang ia terima dari Madam Felicia. Setiap sore Shou duduk di kursi rotan yang dulu Hyena duduki setiap sorenya.
            “Tak mengapa gelap pun, aslkan kamu disampingku,” kata Shou sambil menggoyangkan korsi goyangnya.
            

LIDZA RATU CHAERUNNISA NAZARI


SELESAI

           
           

           
           

Selasa, 29 Maret 2011

Last Kiss





 LAST KISS


Sore itu angin berhembus meniupkan dinginnya hingga menusuk tulang-tulang rusuk. Aku tutupi tubuhku dengan sebuah mantel berwarena coklat. Mantel ini adalah kado natal pemberian seorang gadis cantik di sebrang jalan sana. Disana, di sebuah café bergaya italia seorang gadis cantik duduk di sofa di sambil membaca sebuah majalah. Gadis cantik itu adalah pacarku.
Dia baru saja duduk di bangku kuliah setahun yang lalu dan aku adalah pekerja honor berusia 25 tahun di salah satu departemen milik negara di Lombok. Aku dan gadis berambut coklat keemasan itu sudah 2 tahun lebih berpacan dan sudah 11 bulan pacaran long listen. Sampai hari ini tiba, it’s time to say good bye because I can let go from her life.
Long listen bukanlah masalah yang menyebabkan kandasnya hubungan kami. The problem is a fait full. Kesetiaanlah masalah utamanya. Kesetiaan antara aku, dia dan Tuhan-ku.  Cinta Lea padaku jelas tak sebesar cinta yang Tuhan berikan kepadaku.
 

Krincing…
Dentingan bell ketika aku masuk ke café tempat favorit kami. Ketika aku melangkah menuju ke arahnya, seorang gadis kecil dengan sekeranjang bunga mawar merah dating menghampirinya. Aku terdiam, menahan langkahku.
“Hai kakak mau beli bunga?” kata seorang anak kecil kepadanya.
“Hmmm… boleh,” jawabnya, “berapa satu buket bunganya?”
“Buket kecil yang isinya  itu harganya 75.000 ribu ka,” kata anak kecil yang lucu itu.
“Kalo gitu aku beli satu ya!” katanya.
Maka ia keluarkan  sejumlah uang kepada anak kecil itu. Dia melihatuku yang berdiri tak jauh dari tempatnya. Ia tersenyum hangat kepadaku.
“Hay beb,” sapanya.
“How are you Lea?”
Aku melanjutkan langkahku menuju tempat duduknya. Aku letakan setangkai bunga mawar putih di samping secangkir cappuchino yang sedang ia nikmati.
 “I’m good, ” katanya sambil melirik ke arah bunga yang aku letakan, “For me?” tanyanya.
Aku menatapnya sambil menyunggingkan bibirku, “Iya,” jawabku simple.
“Hmmm…. Nice. I like it,” katanya.
Aku menghembuskan nafasku dan duduk terhempas di sampingnya.
“Why?” tanyanya,  “You look so tired.”
“Aku cape karena aku ga bisa setiap saat ada di samping kamu.”
Raut mukanya langsung berubah, “Kamu salah,” katanya,  “Kamu ada di setiap aku buka mata aku. Kamu liat buanga mawar ini,” Ia ambil bunga mawar putih yang aku beri tadi dan menyelipkannya diantara bunga mawar merah yang ia beli tadi, “Seberapa banyak pun bunga yang akan bermekaran di hati aku, sebanyak apapun waktu yang akan terlewati, seberapa jauhnya ka,u, bagi aku kamu tetap ada di sini.Di antara mawar merah kamu jadi mawar putih di hati aku.”
Aku terdiam. Dia mampu membuatku tersenyum dan dia bisa meluluhkan hatiku. Kembali aku urungkan niatku untuk meninggalkannya.
“Hahaha… sejak kapan kamu jago ngegombal?” Kataku sambil menutup mukanya dengan serbet.
“Jelas, aku kan belajar dai gombalers kaya kamu tau! Hahahaha…”katanya balik menuding.
“I’m sorry, I can’t be perfect. Love you,” kataku sambil mengecup keningnya.
“Love you too,” jawabnya, “Aku pesenin kamu chokochino ya?”
Aku menganggukan kepalaku.  Ia pun beranjak dari sofa.
Aku mengambil sebuah majalah dari meja, tertulis pada cover majah itu ‘7 langkah putus’. Aku tertarik membaca isinya. Aku baca itu dengan seksama.
Langkah ke 1 bersikap manis dan menghindari adanya ribut.
Langkah ke 2 ajak ke tempat favorit.
Langkah ke 3 ajak ke tempat yang belum pernah dikunjungi.
Langkah ke 4 berikan kejutan kecil.
Langkah ke 5 ajak makan malam.
Langkah ke 6 berikan hadiah/ kado kecil sebagai tanda perpisahan.
Langkah ke 7 katakan “PUTUS”
                Hmmmm….. Good idea.  Let’s try….
26 Desember 2009
Aku rasa selama kami pacaran 2 tahun lebih, kami memang jarang sekali bertengkar, mungkin karena usia kami yang beda jauh jadi tak banyak yang aku masalahkan dari dirinya sebab aku mengerti betul sifat-sifat seusianya. Jadi mudah untuk membereskan langkah pertama. Mungkin akan aku mulai dari langkah ke dua.
                Tepat 05.00 a.m. aku berada di depan rumahnya. Lea yang duduk di depan pintu sambil menalikan sepatu langsung menghampiriku.

                “Mana mobil kamu?” tanyanya heran.
                “Sejak kapan kamu ngurusin kenalpot?” tanyaku.
                Ia mengerutkan keningnya.
                “Mau jadi cewe kenalpot neng?” tanyaku
                “Loh…? Bukan gitu sayang…” katanya terpotong kata-kataku.
                “Buka gerbangnya.”
                “Udah kita langsung aja! Mama sama papah masih tidur kayanya.”
                “Hahaha… GR banget sih kamu!” kataku sambil meremas mukanya, “kita jalan-jalan pake umum aja. Mana dompet, hp sama tas kamu?” tanyaku.
                Dia menyerahkan tasnya sambil mengangkat alis sebelah kirinya, heran.
                Aku masukan semua barang-barangnya ke dalam bagasi motorku.
                Dimulai dari berjalan kaki menuju depan kompleks rumahnya. Lumayan jauh rupanya. Jaraknya ¾ kilometer, memakan waktu 25 lebih untuk berjalan kaki. Kami naik pemberangkatan pertama bis damri AC jurusan leuwipanjang-padalarang via kota baru. Perjalanan yang  ditempuh 1 jam 20 menit akhirnya berhenti di sebuah gedung besar berwarena merah-biru –kuning berbentuk tabung bertamankan luas.           Kami turun di depan sebuah taman yang luas berpatungkan sebuah bola dunia.
                “Musium IPTEK?” katanya heran.
                Aku tersenyum sambil menarik lengannya, “Biar kamu ga bego-bego amat lah, hahaa!! Kata mama nilai fisika kamu dulu 5,5 ya? hahaha” kataku sambil meledek.
                “Shit…!!!hahahahahha” katanya.
                Berbagai alat telah kami coba, telah aku potret dirinya dari sisi yang terbagus. Beralih dari Musim kami berjalan ke sederet pertokoan dan factory outlet yang tidak jauh dari sana. Kami masuk ke sebuah cafĂ© dengan bangunan yang terbuat dari kayu yang hangat.
Ia makan dengan lahapnya, sementara aku hanya menghisap rokoku saja.
                “Kenapa ga makan?” tanyanya heran.
                “Kamu mau pulangnya jalan kaki?” tanyaku, Lea mengerutkan alisnya, bingung.
                “Yang bener aja? Padalarang-Kopo tuh jauh tau!” katanya kaget.
                “Nah, kamu kan tau ini akhir bulan. Berhubung akhir bulan, kalo aku ikut makan kamu mau pulangnya jalan kaki?”
                “Yaaa… udah sini aaa…, buka mulutnya. Kenapa kamu baru bilang?”
                “Kamu baru tanya,” kataku sambil mengunyah makanan.
                “Sejak kapan gaji kamu ga cukup buat makan di restaurant  kaya gini?”
                “Mobil aku rusak jadi butuh biaya lagi, sekalian ada beberapa bagian yang mau aku modif.”
                Ia tersenyum meledek, “makanya kalo nyetir jangan kaya orang kesetanan dong mas!”
                “Kamu setannya!” kataku meledek balik.
                “Hahahaha…”
                Diambang pintu restaurant itu aku tertahan.
                “Ayo,” kata Lea.
                “Tunggu,” kataku menahan lengan kanannya.
                “10… 9… 8…” kataku menghitung
                “Kamu ngitung apa sih?” tanyanya penasaran, namun tak aku hiraukan.
“5… 4… 3… 2… 1…” hujan turun dengan lebat.
Aku menariknya lengannya menuju seorang pedagang kaki lima yang menjual jas hujan. Aku membeli dua jas hujan berwarena kuning dan dua payung pelastik transparan. Aku pegang tangannya, and we can trought the rain. Aku menuntunya ke sebuah danau yang tak jauh dari sana. Kami tiba di sebuah lapangan besar yang tak jauh dari danau.
“Amazing….” Teriaknya, “ini ga mimpi kan?” ujarnya.
Aku jongkok dan mengambil seonggok tanah, “ kamu ga mimpi sayaaaang,” kataku sambil meremas kedia mukaya dengan kedua tanganku berlumur tanah basah.
“Stev!” teriaknya sambil mengejarku.
Kemudian saat dia berlari menuju, “Aduuuuuh!!!” teriaknya kesakitan.
Aku kaget melihatnya terjatuh di dekat sebuah kubangan besar. Aku pun segera berlari ke arahnya.
“Mana yang sakit?” tanyaku.
Ia segera berdiri dan tiba-tiba…
Byurrrr….
Ia melompat di kubangan itu sehingga cipratan air kubangan itu membasahi mukaku.
“Lea!!!!!!!!!!!” kataku geram.
“Inget ga? Dulu waktu kecil kita sering banget maen tanah liat?” tanyanya.
Aku tersenyum mengingat masa-masa kecil kami yang kini telah menjadi sebuah memori.
Waktu menunjukan pukul 11.00 p.m. Setelah 2 jam lamanya kami menunggu bis, akhirnya bis pun datang hanya dengan membawa beberapa orang penumpang. Aku segera menarik lengan Lea menuju bangku ke 2 dari belakang. Kami merevew kembali gambar-gambar yang telah kami mabil di danau tadi. Tiba-tiba sudut matanya yang lancip melirik ke arahku sambil tersenyum.
“What are you feeling?” tanyanya.
“It feels,” sambil meletakan tangan kanannya ke jantungku, “No one never saw me like you do,” lanjutku.
If I could freez a moment in my mind it’ll be the second that you touch my lips to mine I’ll like to stop the clok make stands still, baby this is just the way I always wana feel… tapi kata-kata itu tak mampu aku ucapkan semua kata-kata itu hanya terlukis dari bibirku dengan sebuah kecupan hangat yang mendarat di bibirnya.
“Happy anyversary 3 years.”
Dan dalam hatiku telah bertambah beban untuk meninggalkannya.
29 Desember 2009
Ini hari terakhir aku menjalankan semua langkah untuk putus dengannya. Dulu aku tak pernah berharap mendapatkan cintanya, namun entah mengapa rasa yang dulu kosong di hari ini berubah menjadi seseuatu bulatan penuh dan berat ketika aku harus melangkah meninggalkannya.  Tiga tahun itu bukan proses yang panjang tapi perjalanan yang menyenangkan. Karena mencintainya aku merasa tenang dan karena di sampingnya aku merasa nyama.
Tok… tok… tok…
Aku mengetuk pintu rumah Lea.
Tak lama kemudian pintu terbuka. Di balik sebuah long dress berwarena putih ia tersenyum. Rambutnya yang panjang terurai berjatuhan di bahunya. Beautiful girl. And she is my beloved.
Ia tersenyum kepadaku, “Loh kamu pake mobil mama ya?”
Aku mengangukan kepalaku. Aku tak dapat berhenti menatapnya yang amat cantik, “Ayo berangkat,” sesungguhnya aku ingin sekali memujinya, namun entah ke mana kata-kata gombal yang biasanya keluar dari mulutku itu.
Di perjalanan aku tak mampu berkata-kata, bibirku membeku melihatnya yang amat cantik. Begitupun denganya yang hanya terduduk santai mendengarkan music yang kami putar.
Sesampanya di sebuah cafĂ© di daerah Dago atas. Aku sudah memesan privat area di sana. Dia bingung kenapa harus berdandan cantik jika hanya pergi ke sebuah cafĂ© biasa? Namun aku tak berkata apa-apa,  aku menggandengnya masuk. Aku habiskan semua gajihku bulan ini untuk menyewa cafĂ© yang terleak di atas bukit ini.
“Di sini viewnya bagus,” kataku, “we can see the light and beautiful Bandung in the night.”Aku mempersilahkannya duduk, kemudian aku kecup pipi kanannya. Aku pasangkan sebuah kalung dilehernya sebagai kado perpisahan. Namun ia nampak tak terkesan dengan kejutan itu. Wajahnya datar tak berekspresi. Tak berapa lama kemudian pelayan datang mengantarkan hidangan.
Di tengah-tengah waktu kami menyantap hidangan itu, tiba-tiba dia berhenti mengunyah. Lea menatapku cemas.
“Ada apa ini Stev?” tanyanya padaku.
Aku mengerutkan jidatku, pura-pura heran.
“Ada apa ini?” tanyanya, “kenapa kamu berubah?”
Aku terdiam membisu menatapnya hampa, tangannya yang dingin menggenggam tanganku.
“Aku kenal kamu ga cuma hari ini. Aku kenal kamu dari kecil, kita pacaran 3 bulan 2 hari,” katanya dengan mata yang tajam.
“Aku ga bisa terusin semua ini,” kataku.
“Why?” kata-kata itu aku baca dari matanya yang lancip.
“I can give you a reason.”
 Aku keluarkan lagi sebuah amplop cikelat panjang bertuliskan :






UNDANGAN PERNIKAHAN

Isrrish Corrda
dan
Stev Folied

“Dia rekan satu kantorku.”
“You make me feels drift in love and know you let me down. You turn mind whole so blue and throwing me so deep. You somehow you live me neglected?”
Dia beranjak dari kursinya dan meminta sebuah lagu untuk diputarkan kepada berjudul “True Love” dan Ia menyambut tanganku untuk berdansa. Saat ia mendekapku detak jantungnya menegaskan hatinya yang perih. Sungguh aku tak bisa meninggalkan Irrish dalam dekapan hangat Lea. Semua yang telah terjadi antara aku dan Irrish memanglah kesalahan. Namun kini yang terkuak hanya perih. Hatiku tidak dapat meninggalkan Lea untuk wanita yang baru aku pacari 6 bulan lalu. It’s complicated. Ciuman terakhir dari bibirnya seolah ingin membunuh semua cinta yang telah menghantui antara Aku, Dia dan Irrish.Dia melepaskan pelukanku dan ketika aku buka mataku, ia lekas menghapus air matanya.
“Semua yang kita jalanin emang salah. Cinta itu bagai sebuah piala oscar… yang ga mungkin pernah kita menangin, kaya burung yang ga akan pernah bias terbang, karena sayapnya terluka. Kalau ibaratkan cinta itu sebuah kitab, mungkin kita akan terhanyut dosa di dalamnya…. Udah waktunya kamu pergi, kalo emang sayang aku ke kamu bakalan ngehambat jalan kamu dan Irrish… So why don’t you go away?”katanya, “ You stretched my life so hurt.”katanya.
“You know what? The love is die,” katanya sambil menunjuk kea rah dadanya.
Bening matanya pancarka kesedihan yang belum pernah kulihat selama ini. Senyum pedihnya melukiskan tangisan air matanya yang perih merasuk masuk ke dalam hatiku.
She got smile, “Aku siap untuk kamu tinggalin.”
 And it make me feel  sad,  very regret.
Ia berlari menaiki tangga-tangga kecil keluar dari privat area. Lea melangkah meninggalkan café. Lea berlari, berlari dan berlari tak tentu arah sambil menangis begitu pun hatinya. Tubuhnya terhempas jatuh ke aspal karena highthils yang ia kenakan tak mampu lagi menopang tubuhnya.
“Tuhan maafkan aku telah memaksakan cinta yang tak sejalan. Aku tahu aku salah, kini aku akui hatiku tak dapat miliki dirinya. Dan kini aku berhenti berharap. Aku serahkan cintaku untuk kembali padamu.”Kemudian Dia menjinjing sepatunya dan berjalan meningalkan tempat itu.
Lea naik sebuah bis dan membawanya ke danau yang beberapa waktu lalu kami datangi.Dia melempar sepatunya ke tanah. Dia berjalan masuk ke dalam air yang dingin itu hingga air mencapai lututnya. Ia berenang di danau yang jernih itu.
Pagi itu 30 Desember pukul 00.25 dinginnya udara sangat menusuk tulang. Aku tahu Lea pasti sangat kedinginan, namun aku tak dapat lagi mendekapnya. Aku harus belajar untuk melihatnya susah-senang tanpa aku di sampingnya.Biar aku yang menepi untuk melihatnya bahagia kelak. Jujur aku tak yakin bisa akan melihatnya bahagia dengan yang lain, namun apa daya? Cinta kami bagaikan potongan kertas yang tak dapat dipersatukan lagi.
                Akhirnya aku hanya diam di balik sebuah pohon besar melihatnya berjalan meninggalkan tempat itu. Pedih rasanya ketika cinta tak dapat memiliki.
Di malam pesta tahun baru pukul 10.30 p.m aku duduk di sebuah kursi menunggu keberangkatanku ke Abudabhi. Aku bolak-balikan handphon-ku, tersirat dalam benaku untuk menelepon Lea memberitahukan keberangkatanku ke Abudabhi. Tapi aku ga yakin untuk memberitahunya. Akhirnya ku putuskan untuk mematikan handphone-ku dan menyimpannya ke dalam tas. Ketika aku beranjak dari kursiku, tak tersadar gadis berambut coklat keemasan itu telah lama berdiri di depanku mengenakan long dress berwarna cream-merah-putih dibalut jaket jeans dan memegang sebuah bingkai berukuran ½  x 1,5 m.
                Lea tersenyum, “Stev,” panggilnya lembut.
                “Lea?”
                Sambil  kembali menunjukan senymnya ia berkata, “Ini ada yang kamu tinggalin.”
                Aku heran ketika ia memberikanku bingkai yang dibungkus kertas coklat itu, “Apa?”
                “Ini, di sini,” katanya, “selama ini kamu mampu buat aku tersenyum, kalo emang waktu harus berjalan dan berputar hingga akhirnya merubah semua tapi waktu ga bisa merubah kenangan yang pernah kita lalui. Your paint of my life.”
                Aku memeluknya erat-erat, kemudian aku mencium keningnya, “Jaga hati kamu. Tunggu aku kembali.”
                Dia kembali tersenyum, kemudian menggelengkan kepalanya. Dia menghembuskan nafasnya sambil memejamkan matanya, “Kamu salah. We lost did all, the love is gone. Suatu hari nanti jika kamu kembali kamu akan tahu bahwa kamu ga pernah punya pegangan. You could keep hands to your self. Some day you know that you lost me. But the love is die.”

aku duduk di pesawat, terselip sepucuk surat di saku celana yang aku kenakan
 
Dear my beloved, Stev
                Suatu hari nanti saat kamu berdiri di depan altar, kamu akan tahu bahwa aku tak pernah berpaling dari hatimu. Dan jawablah apa kata hatimu itu di sana, di sisi Tuhan-mu.
                From Lea