Selasa, 29 Maret 2011

Last Kiss





 LAST KISS


Sore itu angin berhembus meniupkan dinginnya hingga menusuk tulang-tulang rusuk. Aku tutupi tubuhku dengan sebuah mantel berwarena coklat. Mantel ini adalah kado natal pemberian seorang gadis cantik di sebrang jalan sana. Disana, di sebuah café bergaya italia seorang gadis cantik duduk di sofa di sambil membaca sebuah majalah. Gadis cantik itu adalah pacarku.
Dia baru saja duduk di bangku kuliah setahun yang lalu dan aku adalah pekerja honor berusia 25 tahun di salah satu departemen milik negara di Lombok. Aku dan gadis berambut coklat keemasan itu sudah 2 tahun lebih berpacan dan sudah 11 bulan pacaran long listen. Sampai hari ini tiba, it’s time to say good bye because I can let go from her life.
Long listen bukanlah masalah yang menyebabkan kandasnya hubungan kami. The problem is a fait full. Kesetiaanlah masalah utamanya. Kesetiaan antara aku, dia dan Tuhan-ku.  Cinta Lea padaku jelas tak sebesar cinta yang Tuhan berikan kepadaku.
 

Krincing…
Dentingan bell ketika aku masuk ke café tempat favorit kami. Ketika aku melangkah menuju ke arahnya, seorang gadis kecil dengan sekeranjang bunga mawar merah dating menghampirinya. Aku terdiam, menahan langkahku.
“Hai kakak mau beli bunga?” kata seorang anak kecil kepadanya.
“Hmmm… boleh,” jawabnya, “berapa satu buket bunganya?”
“Buket kecil yang isinya  itu harganya 75.000 ribu ka,” kata anak kecil yang lucu itu.
“Kalo gitu aku beli satu ya!” katanya.
Maka ia keluarkan  sejumlah uang kepada anak kecil itu. Dia melihatuku yang berdiri tak jauh dari tempatnya. Ia tersenyum hangat kepadaku.
“Hay beb,” sapanya.
“How are you Lea?”
Aku melanjutkan langkahku menuju tempat duduknya. Aku letakan setangkai bunga mawar putih di samping secangkir cappuchino yang sedang ia nikmati.
 “I’m good, ” katanya sambil melirik ke arah bunga yang aku letakan, “For me?” tanyanya.
Aku menatapnya sambil menyunggingkan bibirku, “Iya,” jawabku simple.
“Hmmm…. Nice. I like it,” katanya.
Aku menghembuskan nafasku dan duduk terhempas di sampingnya.
“Why?” tanyanya,  “You look so tired.”
“Aku cape karena aku ga bisa setiap saat ada di samping kamu.”
Raut mukanya langsung berubah, “Kamu salah,” katanya,  “Kamu ada di setiap aku buka mata aku. Kamu liat buanga mawar ini,” Ia ambil bunga mawar putih yang aku beri tadi dan menyelipkannya diantara bunga mawar merah yang ia beli tadi, “Seberapa banyak pun bunga yang akan bermekaran di hati aku, sebanyak apapun waktu yang akan terlewati, seberapa jauhnya ka,u, bagi aku kamu tetap ada di sini.Di antara mawar merah kamu jadi mawar putih di hati aku.”
Aku terdiam. Dia mampu membuatku tersenyum dan dia bisa meluluhkan hatiku. Kembali aku urungkan niatku untuk meninggalkannya.
“Hahaha… sejak kapan kamu jago ngegombal?” Kataku sambil menutup mukanya dengan serbet.
“Jelas, aku kan belajar dai gombalers kaya kamu tau! Hahahaha…”katanya balik menuding.
“I’m sorry, I can’t be perfect. Love you,” kataku sambil mengecup keningnya.
“Love you too,” jawabnya, “Aku pesenin kamu chokochino ya?”
Aku menganggukan kepalaku.  Ia pun beranjak dari sofa.
Aku mengambil sebuah majalah dari meja, tertulis pada cover majah itu ‘7 langkah putus’. Aku tertarik membaca isinya. Aku baca itu dengan seksama.
Langkah ke 1 bersikap manis dan menghindari adanya ribut.
Langkah ke 2 ajak ke tempat favorit.
Langkah ke 3 ajak ke tempat yang belum pernah dikunjungi.
Langkah ke 4 berikan kejutan kecil.
Langkah ke 5 ajak makan malam.
Langkah ke 6 berikan hadiah/ kado kecil sebagai tanda perpisahan.
Langkah ke 7 katakan “PUTUS”
                Hmmmm….. Good idea.  Let’s try….
26 Desember 2009
Aku rasa selama kami pacaran 2 tahun lebih, kami memang jarang sekali bertengkar, mungkin karena usia kami yang beda jauh jadi tak banyak yang aku masalahkan dari dirinya sebab aku mengerti betul sifat-sifat seusianya. Jadi mudah untuk membereskan langkah pertama. Mungkin akan aku mulai dari langkah ke dua.
                Tepat 05.00 a.m. aku berada di depan rumahnya. Lea yang duduk di depan pintu sambil menalikan sepatu langsung menghampiriku.

                “Mana mobil kamu?” tanyanya heran.
                “Sejak kapan kamu ngurusin kenalpot?” tanyaku.
                Ia mengerutkan keningnya.
                “Mau jadi cewe kenalpot neng?” tanyaku
                “Loh…? Bukan gitu sayang…” katanya terpotong kata-kataku.
                “Buka gerbangnya.”
                “Udah kita langsung aja! Mama sama papah masih tidur kayanya.”
                “Hahaha… GR banget sih kamu!” kataku sambil meremas mukanya, “kita jalan-jalan pake umum aja. Mana dompet, hp sama tas kamu?” tanyaku.
                Dia menyerahkan tasnya sambil mengangkat alis sebelah kirinya, heran.
                Aku masukan semua barang-barangnya ke dalam bagasi motorku.
                Dimulai dari berjalan kaki menuju depan kompleks rumahnya. Lumayan jauh rupanya. Jaraknya ¾ kilometer, memakan waktu 25 lebih untuk berjalan kaki. Kami naik pemberangkatan pertama bis damri AC jurusan leuwipanjang-padalarang via kota baru. Perjalanan yang  ditempuh 1 jam 20 menit akhirnya berhenti di sebuah gedung besar berwarena merah-biru –kuning berbentuk tabung bertamankan luas.           Kami turun di depan sebuah taman yang luas berpatungkan sebuah bola dunia.
                “Musium IPTEK?” katanya heran.
                Aku tersenyum sambil menarik lengannya, “Biar kamu ga bego-bego amat lah, hahaa!! Kata mama nilai fisika kamu dulu 5,5 ya? hahaha” kataku sambil meledek.
                “Shit…!!!hahahahahha” katanya.
                Berbagai alat telah kami coba, telah aku potret dirinya dari sisi yang terbagus. Beralih dari Musim kami berjalan ke sederet pertokoan dan factory outlet yang tidak jauh dari sana. Kami masuk ke sebuah café dengan bangunan yang terbuat dari kayu yang hangat.
Ia makan dengan lahapnya, sementara aku hanya menghisap rokoku saja.
                “Kenapa ga makan?” tanyanya heran.
                “Kamu mau pulangnya jalan kaki?” tanyaku, Lea mengerutkan alisnya, bingung.
                “Yang bener aja? Padalarang-Kopo tuh jauh tau!” katanya kaget.
                “Nah, kamu kan tau ini akhir bulan. Berhubung akhir bulan, kalo aku ikut makan kamu mau pulangnya jalan kaki?”
                “Yaaa… udah sini aaa…, buka mulutnya. Kenapa kamu baru bilang?”
                “Kamu baru tanya,” kataku sambil mengunyah makanan.
                “Sejak kapan gaji kamu ga cukup buat makan di restaurant  kaya gini?”
                “Mobil aku rusak jadi butuh biaya lagi, sekalian ada beberapa bagian yang mau aku modif.”
                Ia tersenyum meledek, “makanya kalo nyetir jangan kaya orang kesetanan dong mas!”
                “Kamu setannya!” kataku meledek balik.
                “Hahahaha…”
                Diambang pintu restaurant itu aku tertahan.
                “Ayo,” kata Lea.
                “Tunggu,” kataku menahan lengan kanannya.
                “10… 9… 8…” kataku menghitung
                “Kamu ngitung apa sih?” tanyanya penasaran, namun tak aku hiraukan.
“5… 4… 3… 2… 1…” hujan turun dengan lebat.
Aku menariknya lengannya menuju seorang pedagang kaki lima yang menjual jas hujan. Aku membeli dua jas hujan berwarena kuning dan dua payung pelastik transparan. Aku pegang tangannya, and we can trought the rain. Aku menuntunya ke sebuah danau yang tak jauh dari sana. Kami tiba di sebuah lapangan besar yang tak jauh dari danau.
“Amazing….” Teriaknya, “ini ga mimpi kan?” ujarnya.
Aku jongkok dan mengambil seonggok tanah, “ kamu ga mimpi sayaaaang,” kataku sambil meremas kedia mukaya dengan kedua tanganku berlumur tanah basah.
“Stev!” teriaknya sambil mengejarku.
Kemudian saat dia berlari menuju, “Aduuuuuh!!!” teriaknya kesakitan.
Aku kaget melihatnya terjatuh di dekat sebuah kubangan besar. Aku pun segera berlari ke arahnya.
“Mana yang sakit?” tanyaku.
Ia segera berdiri dan tiba-tiba…
Byurrrr….
Ia melompat di kubangan itu sehingga cipratan air kubangan itu membasahi mukaku.
“Lea!!!!!!!!!!!” kataku geram.
“Inget ga? Dulu waktu kecil kita sering banget maen tanah liat?” tanyanya.
Aku tersenyum mengingat masa-masa kecil kami yang kini telah menjadi sebuah memori.
Waktu menunjukan pukul 11.00 p.m. Setelah 2 jam lamanya kami menunggu bis, akhirnya bis pun datang hanya dengan membawa beberapa orang penumpang. Aku segera menarik lengan Lea menuju bangku ke 2 dari belakang. Kami merevew kembali gambar-gambar yang telah kami mabil di danau tadi. Tiba-tiba sudut matanya yang lancip melirik ke arahku sambil tersenyum.
“What are you feeling?” tanyanya.
“It feels,” sambil meletakan tangan kanannya ke jantungku, “No one never saw me like you do,” lanjutku.
If I could freez a moment in my mind it’ll be the second that you touch my lips to mine I’ll like to stop the clok make stands still, baby this is just the way I always wana feel… tapi kata-kata itu tak mampu aku ucapkan semua kata-kata itu hanya terlukis dari bibirku dengan sebuah kecupan hangat yang mendarat di bibirnya.
“Happy anyversary 3 years.”
Dan dalam hatiku telah bertambah beban untuk meninggalkannya.
29 Desember 2009
Ini hari terakhir aku menjalankan semua langkah untuk putus dengannya. Dulu aku tak pernah berharap mendapatkan cintanya, namun entah mengapa rasa yang dulu kosong di hari ini berubah menjadi seseuatu bulatan penuh dan berat ketika aku harus melangkah meninggalkannya.  Tiga tahun itu bukan proses yang panjang tapi perjalanan yang menyenangkan. Karena mencintainya aku merasa tenang dan karena di sampingnya aku merasa nyama.
Tok… tok… tok…
Aku mengetuk pintu rumah Lea.
Tak lama kemudian pintu terbuka. Di balik sebuah long dress berwarena putih ia tersenyum. Rambutnya yang panjang terurai berjatuhan di bahunya. Beautiful girl. And she is my beloved.
Ia tersenyum kepadaku, “Loh kamu pake mobil mama ya?”
Aku mengangukan kepalaku. Aku tak dapat berhenti menatapnya yang amat cantik, “Ayo berangkat,” sesungguhnya aku ingin sekali memujinya, namun entah ke mana kata-kata gombal yang biasanya keluar dari mulutku itu.
Di perjalanan aku tak mampu berkata-kata, bibirku membeku melihatnya yang amat cantik. Begitupun denganya yang hanya terduduk santai mendengarkan music yang kami putar.
Sesampanya di sebuah café di daerah Dago atas. Aku sudah memesan privat area di sana. Dia bingung kenapa harus berdandan cantik jika hanya pergi ke sebuah café biasa? Namun aku tak berkata apa-apa,  aku menggandengnya masuk. Aku habiskan semua gajihku bulan ini untuk menyewa café yang terleak di atas bukit ini.
“Di sini viewnya bagus,” kataku, “we can see the light and beautiful Bandung in the night.”Aku mempersilahkannya duduk, kemudian aku kecup pipi kanannya. Aku pasangkan sebuah kalung dilehernya sebagai kado perpisahan. Namun ia nampak tak terkesan dengan kejutan itu. Wajahnya datar tak berekspresi. Tak berapa lama kemudian pelayan datang mengantarkan hidangan.
Di tengah-tengah waktu kami menyantap hidangan itu, tiba-tiba dia berhenti mengunyah. Lea menatapku cemas.
“Ada apa ini Stev?” tanyanya padaku.
Aku mengerutkan jidatku, pura-pura heran.
“Ada apa ini?” tanyanya, “kenapa kamu berubah?”
Aku terdiam membisu menatapnya hampa, tangannya yang dingin menggenggam tanganku.
“Aku kenal kamu ga cuma hari ini. Aku kenal kamu dari kecil, kita pacaran 3 bulan 2 hari,” katanya dengan mata yang tajam.
“Aku ga bisa terusin semua ini,” kataku.
“Why?” kata-kata itu aku baca dari matanya yang lancip.
“I can give you a reason.”
 Aku keluarkan lagi sebuah amplop cikelat panjang bertuliskan :






UNDANGAN PERNIKAHAN

Isrrish Corrda
dan
Stev Folied

“Dia rekan satu kantorku.”
“You make me feels drift in love and know you let me down. You turn mind whole so blue and throwing me so deep. You somehow you live me neglected?”
Dia beranjak dari kursinya dan meminta sebuah lagu untuk diputarkan kepada berjudul “True Love” dan Ia menyambut tanganku untuk berdansa. Saat ia mendekapku detak jantungnya menegaskan hatinya yang perih. Sungguh aku tak bisa meninggalkan Irrish dalam dekapan hangat Lea. Semua yang telah terjadi antara aku dan Irrish memanglah kesalahan. Namun kini yang terkuak hanya perih. Hatiku tidak dapat meninggalkan Lea untuk wanita yang baru aku pacari 6 bulan lalu. It’s complicated. Ciuman terakhir dari bibirnya seolah ingin membunuh semua cinta yang telah menghantui antara Aku, Dia dan Irrish.Dia melepaskan pelukanku dan ketika aku buka mataku, ia lekas menghapus air matanya.
“Semua yang kita jalanin emang salah. Cinta itu bagai sebuah piala oscar… yang ga mungkin pernah kita menangin, kaya burung yang ga akan pernah bias terbang, karena sayapnya terluka. Kalau ibaratkan cinta itu sebuah kitab, mungkin kita akan terhanyut dosa di dalamnya…. Udah waktunya kamu pergi, kalo emang sayang aku ke kamu bakalan ngehambat jalan kamu dan Irrish… So why don’t you go away?”katanya, “ You stretched my life so hurt.”katanya.
“You know what? The love is die,” katanya sambil menunjuk kea rah dadanya.
Bening matanya pancarka kesedihan yang belum pernah kulihat selama ini. Senyum pedihnya melukiskan tangisan air matanya yang perih merasuk masuk ke dalam hatiku.
She got smile, “Aku siap untuk kamu tinggalin.”
 And it make me feel  sad,  very regret.
Ia berlari menaiki tangga-tangga kecil keluar dari privat area. Lea melangkah meninggalkan café. Lea berlari, berlari dan berlari tak tentu arah sambil menangis begitu pun hatinya. Tubuhnya terhempas jatuh ke aspal karena highthils yang ia kenakan tak mampu lagi menopang tubuhnya.
“Tuhan maafkan aku telah memaksakan cinta yang tak sejalan. Aku tahu aku salah, kini aku akui hatiku tak dapat miliki dirinya. Dan kini aku berhenti berharap. Aku serahkan cintaku untuk kembali padamu.”Kemudian Dia menjinjing sepatunya dan berjalan meningalkan tempat itu.
Lea naik sebuah bis dan membawanya ke danau yang beberapa waktu lalu kami datangi.Dia melempar sepatunya ke tanah. Dia berjalan masuk ke dalam air yang dingin itu hingga air mencapai lututnya. Ia berenang di danau yang jernih itu.
Pagi itu 30 Desember pukul 00.25 dinginnya udara sangat menusuk tulang. Aku tahu Lea pasti sangat kedinginan, namun aku tak dapat lagi mendekapnya. Aku harus belajar untuk melihatnya susah-senang tanpa aku di sampingnya.Biar aku yang menepi untuk melihatnya bahagia kelak. Jujur aku tak yakin bisa akan melihatnya bahagia dengan yang lain, namun apa daya? Cinta kami bagaikan potongan kertas yang tak dapat dipersatukan lagi.
                Akhirnya aku hanya diam di balik sebuah pohon besar melihatnya berjalan meninggalkan tempat itu. Pedih rasanya ketika cinta tak dapat memiliki.
Di malam pesta tahun baru pukul 10.30 p.m aku duduk di sebuah kursi menunggu keberangkatanku ke Abudabhi. Aku bolak-balikan handphon-ku, tersirat dalam benaku untuk menelepon Lea memberitahukan keberangkatanku ke Abudabhi. Tapi aku ga yakin untuk memberitahunya. Akhirnya ku putuskan untuk mematikan handphone-ku dan menyimpannya ke dalam tas. Ketika aku beranjak dari kursiku, tak tersadar gadis berambut coklat keemasan itu telah lama berdiri di depanku mengenakan long dress berwarna cream-merah-putih dibalut jaket jeans dan memegang sebuah bingkai berukuran ½  x 1,5 m.
                Lea tersenyum, “Stev,” panggilnya lembut.
                “Lea?”
                Sambil  kembali menunjukan senymnya ia berkata, “Ini ada yang kamu tinggalin.”
                Aku heran ketika ia memberikanku bingkai yang dibungkus kertas coklat itu, “Apa?”
                “Ini, di sini,” katanya, “selama ini kamu mampu buat aku tersenyum, kalo emang waktu harus berjalan dan berputar hingga akhirnya merubah semua tapi waktu ga bisa merubah kenangan yang pernah kita lalui. Your paint of my life.”
                Aku memeluknya erat-erat, kemudian aku mencium keningnya, “Jaga hati kamu. Tunggu aku kembali.”
                Dia kembali tersenyum, kemudian menggelengkan kepalanya. Dia menghembuskan nafasnya sambil memejamkan matanya, “Kamu salah. We lost did all, the love is gone. Suatu hari nanti jika kamu kembali kamu akan tahu bahwa kamu ga pernah punya pegangan. You could keep hands to your self. Some day you know that you lost me. But the love is die.”

aku duduk di pesawat, terselip sepucuk surat di saku celana yang aku kenakan
 
Dear my beloved, Stev
                Suatu hari nanti saat kamu berdiri di depan altar, kamu akan tahu bahwa aku tak pernah berpaling dari hatimu. Dan jawablah apa kata hatimu itu di sana, di sisi Tuhan-mu.
                From Lea